Polemik mengenai perubahan sistem pada Pemilu 2024 mendatang menjadi sistem proporsional tertutup telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan di negara kita. Isu ini mencuat setelah dilakukannya uji materi terkait sistem proporsional terbuka dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah pemohon mengajukan permohonan kepada MK untuk menyatakan pasal tersebut Inkonstitusional, sehingga sistem pemilu di Indonesia dapat diganti dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Lantas, apa itu sistem proporsional tertutup dan yang membedakannya dengan proporsional terbuka? Apa itu sistem pemilu proporsional tertutup?
Sistem pemilu proporsional tertutup adalah sistem di mana calon legislatif terpilih ditentukan berdasarkan jumlah suara yang diperoleh partai politik, bukan secara langsung berdasarkan suara individu yang diperoleh calon tersebut. Surat suara sistem proporsional tertutup dalam Pemilu hanya berisi logo partai politik tanpa daftar nama caleg. Sehingga, pemilih hanya dapat memilih partai politik peserta pemilu dan tidak dapat memilih secara langsung calon legislatif yang diinginkan.
Perbedaan Proporsional Tertutup dan Proporsional Terbuka
1. Proporsional Tertutup
Surat suara sistem hanya memuat logo partai politik tanpa rincian nama caleg
2. Caleg ditentukan oleh partai dan disusun berdasarkan nomor urut
3. Calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut. Jika partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2
Proporsional Terbuka
1. Surat suara memuat keterangan logo partai politik, beserta nama kader parpol calon anggota legislatif.
2. Pemilih dapat memilih langsung nama caleg atau parpol peserta pemilu di surat suara.
3. Penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak meski tidak berada di nomor urut teratas
Dampak Sistem Proporsional tertutup
Berdasarkan laman Indonesia Corruption Watch (ICW), ada beberapa hal yang menjadi kelemahan dari sistem ini yaitu :
1. Mengurangi partisipasi masyarakat dalam memilih calon wakil rakyat di lembaga legislatif.
2. Membuka ruang untuk nepotisme di internal partai karena calon yang memiliki relasi dan struktural tinggi berkesempatan lebih besar untuk menang.
3. Kandidat terpilih bergantung pada nomor urut yang ditentukan parpol, sehingga dapat meningkatkan risiko adanya politik uang untuk saling mendapatkan nomor urut teratas.
0 Komentar
Belum ada komentar.